Selasa, 21 Mei 2019

Keberhasilan dan Kegagalan Pendidikan

Tujuan pendidikan nasional yang telah ditetapkan dalam undang-undang nomor 2 tahun 1989 adalah " mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan." dilihat secara sepintas tujuan pendidikan ini sudah cukup lengkap dan sesuai dengan tujuan baik perorangan maupun oleh negara, namun dalam pelaksanaannya ternyata sulit. Beberapa upaya pendidikan telah dilakukan yang berupa pendidikan formal, non formal, dan informal baik yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan maupun oleh Departemen lain. Namun kita terperanjat dengan bukti-bukti yang merupakan salah satu hasil dari upaya pendidikan tersebut berupa tumbuhnya budaya kekerasan di mana orang gampang saja menghilangkan nyawa orang lain, budaya korupsi, kolusi, nepotisme serta perilaku negatif yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dan berbagai tindakan negatif lainnya.

Beberapa perilaku negatif lainnya Tentu saja sangat banyak merugikan kita semua dan menjadikan bahan pertanyaan Siapa yang bertanggung jawab terhadap kenyataan tersebut. Tudingan yang paling tepat adalah dialamatkan pada Departemen Pendidikan atau lembaga-lembaga pendidikan seperti Departemen Agama yang juga menyelenggarakan pendidikan-pendidikan keagamaan. Masyarakat gampang saja menuduh bahwa Departemen Pendidikan dan Departemen Agama telah gagal dalam mengemban misinya. Tentu saja tuduhan ini kurang profesional sebab seperti telah ditetapkan dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, orang tua, dan masyarakat ikut andil dalam kegagalan tersebut. Kalau begitu Di mana letak kegagalan dari upaya pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah, orang tua, dan masyarakat selama ini?

Bagaimana melihat keberhasilan suatu proses pendidikan? Salah satu indikator keberhasilan pendidikan adalah kemampuan individu untuk menolong dirinya sendiri dalam arti mampukah Dia bisa bertahan hidup secara mandiri. Dan data-data yang dikeluarkan oleh Biro Pusat Statistik kita amat prihatin Bahwa saat ini terdapat 40 juta penganggur di samping tiap tahun terdapat sekitar 300.000 lulusan perguruan tinggi yang juga menjadi penganggur. Ini merupakan masalah yang serius sebagai warisan pemerintahan orde baru yaitu sulitnya lapangan pekerjaan, dan masalah ini belum ada upaya yang bisa diharapkan dapat menyelesaikan persoalan pengangguran ini meskipun ada berbagai kesempatan untuk bisa bekerja di luar negeri namun persyaratan keahlian menjadi hambatan.

Mereka yang kurang berhasil dalam suatu proses pendidikan relatif banyak dan sulit untuk mengembangkan dirinya. Banyak para penganggur yang masih tetap memimpikanmu untuk menjadi pegawai negeri meskipun pada saat ini sangat terbatas kesempatan nya. Pertanyaan yang timbul dari fenomena ini adalah Mengapa mereka kurang mempunyai semangat berwiraswasta untuk menolong dirinya daripada menunggu kesempatan yang belum tentu. Hal ini menyangkut kesempatan berpikir positif atau positive thinking yang kurang dikembangkan pada waktu mereka Mengikuti pendidikan di sekolah, serta kurang dikembangkannya kemampuan berfikir tersebut di lingkungan keluarga dan di masyarakat. Mereka yang berhasil dalam mengembangkan dirinya dalam arti bisa bertahan hidup ternyata menurut berbagai penelitian adalah mereka yang selalu berpikir positif sebagai akibat dari otak mereka Terlatih Untuk itu. Dengan demikian dalam proses pendidikan selama ini terutama di sekolah ternyata pelatihan dan berbagai pelajaran yang disampaikan oleh guru atau dosen kurang memberi rangsangan untuk mengembangkan proses berpikir. Keadaan ini dipersulit dengan kurangnya kesadaran orang tua karena ketidaktahuan dalam membina anak di rumah sehingga proses berpikir ini sulit untuk berkembang. Semua ini berhubungan dengan bagaimana fungsi otak bisa berkembang atau sulit untuk dikembangkan.

Sulitnya mengembangkan proses berpikir pada siswa di sekolah karena selama ini pengajaran masih terlalu berpusat pada guru atau teacher Centered. Dimana Guru terlalu dominan dalam memberikan informasi, sedangkan siswa kurang banyak diberi kesempatan untuk melakukan analisa, prognosa, dan sintesa sehingga tidak tumbuh proses berpikir. Inilah yang Diperbaiki dengan upaya pengajaran demokratis atau democratice teaching di mana guru sebaiknya hanya sebagai fasilitator sedang siswa didorong untuk secara demokratis mendiskusikan suatu persoalan atau masalah sampai mengambil keputusan. Pengajaran demokratis Inilah yang harus sudah dimulai diterapkan dan dikembangkan dalam proses belajar mengajar.

Kegagalan proses belajar 
Menurut Taksonomi Bloom suatu proses belajar yang diharapkan adalah harus menyentuh tiga aspek ranah yaitu ranah kognitif, ranah afektif dan psikomotor. Proses belajar selama ini ternyata kurang menekankan pada ranah afektif sehingga hasil pelajaran menjadi kurang bermakna. Anak terlalu dijejali dengan berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan ranah kognitif tingkat rendah tanpa melewati ranah afektif tetapi langsung loncat ke pada ranah psikomotor. Proses belajar sendiri berlangsung baik di dalam kelas dengan kurikulum resmi, maupun di luar kelas seperti di rumah dan masyarakat dengan kurikulum yang tidak resmi, namun ternyata justru itulah sangat mempengaruhi perilaku anak tersebut. Dengan membludaknya berbagai informasi sebagai akibat dari abad globalisasi makna informasi yang diperoleh anak semakin banyak namun kurang terkontrol sehingga anak menjadi bingung. Namun dikarenakan intensitas komunikasi yang diperoleh misalnya melalui media massa seperti radio, pers, televisi, internet, dan film jauh lebih sering, lebih menarik, lebih banyak, lebih luas jangkauannya, maka tidak mustahil informasi tersebut yang menjadi penyebab sebagai pemicu ke arah perilaku negatif. Dalam berbagai berita kita sering mendengar dan membaca seorang anak yang menghilangkan nyawa temannya setelah menonton sebuah film, dan perilaku negatif lainnya telah divonis sebagai perilaku manusia bi@dab di zaman yang beradab.

Dan berbagai Penelitian terhadap proses pendidikan baik formal (di sekolah) maupun nonformal (di luar sekolah) dan informal terutama di lingkungan keluarga, untuk sementara dapat ditarik benang merah dalam menganalisis kegagalan suatu proses pendidikan yang kurang dikembangkannya ranah afektif. Ranah afektif yang berarti penghayatan gagal dikembangkan dan diperankan pada 3 lingkungan pendidikan, baik di sekolah, di rumah, dan di masyarakat. Guru dan dosen, orang tua, dan tokoh masyarakat serta Pemerintah Kurang memberi perhatian pada ranah afektif sehingga hasil pendidikan menjadi bias, menyimpang, dan kurang bermakna. Sebagai contoh dapat digambarkan bahwa seorang anak yang belajar IPA dengan topik mengenal bulan dan bintang tidak pernah diajari tentang bagaimana anak tersebut dapat memperhatikan secara langsung bagaimana bentuk bulan dan bintang tersebut meskipun tiap malam tanggal 14 muncul bulan purnama dan bila malam cerah bintang-bintang di langit bisa kelihatan. Lebih prihatin lagi bahwa kita punya peneropong Bintang "Bosha" di Kota Kecamatan Lembang di Bandung Provinsi Jawa Barat namun sedikit sekali dimanfaatkan oleh sekolah-sekolah tempat belajar memahami tentang alam melalui pengamatan bulan dan bintang dan dikaitkan dengan penghayatan afektif betapa Tuhan Yang Maha Esa dalam menciptakan planet-planet dan benda langit lainnya dengan begitu indah dan menakjubkan. Refleksi dari penghayatan ini tidak mustahil anak akan lebih tebal rasa keimanannya serta tumbuh rasa ingin tahu lebih jauh tentang bulan dan bintang tersebut sehingga memberi dampak yang akan belajar terus menerus atau continuous learning, yang pada akhirnya akan menghasilkan para astronom atau ahli perbintangan yang sangat diperlukan dalam dunia ilmu pengetahuan.

Tumbuhnya kesadaran akan adanya Tuhan itu berhubungan dengan kecerdasan spiritual atau spiritual questient yang akhir-akhir ini banyak dilakukan penelitian yang salah satu kesimpulannya menyatakan bahwa dengan adanya god spot atau titik wilayah ketuhanan sebagai pusat spiritual dalam struktur otak manusia. Hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam proses belajar mengajar di sekolah-sekolah sudah sepantasnya diperbaharui dengan paradigma baru yang bukan hanya dapat mengembangkan IQ atau intelegensi questient, tetapi juga EQ atau emotional quotient, CQ atau Creative quotient, SQ atau spiritual quotient, dan AQ atau adversity quotient, yang semua bersumber pada Bagaimana mengoptimalkan fungsi otak manusia agar berbagai kecerdasan tersebut tumbuh pada anak.