Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.
Untuk menanggulangi hutang luar negeri pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club) dan ke London , Inggris (London Club), untuk merundingkan hutang piutang negara dan swasta. Pemerintah Orde Baru juga mencapai kesepakatan dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.
Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya tentang pembaruan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.Tujuan dikeluarkan keterapan tersebut adalah untuk mengatasi krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda negara Indonesia sejak tahun 1955. Berdasarkan ketetapan tersebut, Presiden Suharto mempersiapkan perekonomian Indonesia sebagai berikut:
Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya tentang pembaruan kebijakan landasan ekonomi, keuangan, dan pembangunan.Tujuan dikeluarkan keterapan tersebut adalah untuk mengatasi krisis dan kemerosotan ekonomi yang melanda negara Indonesia sejak tahun 1955. Berdasarkan ketetapan tersebut, Presiden Suharto mempersiapkan perekonomian Indonesia sebagai berikut:
- Mengeluarkan Peraturan 3 Oktober 1966, tentang pokok-pokok regulasi.
- Mengeluarkan Peraturan 10 Pebruari 1967, tentang harga dan tarif.
- Peraturan 28 Juli 1967, tentang pajak usaha serta ekspor Indonesia.
- UU No. 1 Tahun 1967 , tentang Penanaman Modal Asing.
- UU No. 13 Tahun 1967, tentang Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja ( RAPB).
Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo dan mampu meyakinkan negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia. Misalnya dibentuknya lembaga Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI). Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan pada bulan Februari 1967, di Amsterdam. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya.
Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama–sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.
Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.
Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru berhasil mengatasi krisis ekonomi yang diderita. Banyak modal asing datang, industri berkenbang pesat, dan muncul kesempatan kerja. Indonesia juga menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank).