Struktur pantun adalah bentuk atau pola yang membentuk susunan pantun, struktur pantun dibangun oleh dua aspek, yakni sampiran dan isi. Sampiran berfungsi sebagai pembentuk rima atau nada. Sampiran disebut juga sebagai pembayang karena pada pantun-pantun klasik sampiran kadang-kadang membayangkan isi. Sedangkan isi adalah tujuan dari pantun itu sendiri. Sampiran terhadap isi tidak memiliki hubungan makna. Karena jika memiliki hubungan makna tidaklah disebut sebagai pantun, melainkan hanya Syair bersajak.
Pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran merupakan dua baris pertama (baris 1 dan 2 pada pantun empat baris) pada pantun, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir pantun (baris 3 dan 4 pada pantun empat baris) merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Karmina dan talibun merupakan bentuk pengembanga pantun, dalam arti karmina dan talibun memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun dalam bentuk pendek karena hanya terdiri dari dua baris, sedangkan talibun adalah pantun dalam bentuk yang lebih panjang karena terdiri dari enam baris atau lebih.
Perhatikan contoh pantun di bawah ini :
Dari rangkaian teks pantun di atas, dapat dilihat kemahiran pelantunnya dalam pemilihan kata yang digunakan. Pemilihan dan penyusunan kata yang dilakukan sedemikan rupa dengan memberikan rima dan ritme yang sepadan akan menghasilkan keindahan bunyi yang sempurna. Bila setiap kata dalam pantun saling dipertukarkan letaknya, atau diganti dengan kata lain dengan makna yang sama, pasti akan menimbulkan kekacauan bunyi.
Karmina dan talibun merupakan bentuk pengembanga pantun, dalam arti karmina dan talibun memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun dalam bentuk pendek karena hanya terdiri dari dua baris, sedangkan talibun adalah pantun dalam bentuk yang lebih panjang karena terdiri dari enam baris atau lebih.
Perhatikan contoh pantun di bawah ini :
Pokok pakis tumbuh di hutan,(sampiran)Pada pantun di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut :
tumbang melepa di atas duri.(sampiran)
Pulau menangis kering lautan,(isi)
ikan juga menghempas diri.(isi)
- Baris pertama dan kedua berupa sampiran
- Baris ketiga empat berupa isi
- Bunyi akhir pada baris pertama sama dengan bunyi akhir pada baris ketiga (n), bunyi akhir pada baris kedua sama dengan baris ketiga (i)
Dari rangkaian teks pantun di atas, dapat dilihat kemahiran pelantunnya dalam pemilihan kata yang digunakan. Pemilihan dan penyusunan kata yang dilakukan sedemikan rupa dengan memberikan rima dan ritme yang sepadan akan menghasilkan keindahan bunyi yang sempurna. Bila setiap kata dalam pantun saling dipertukarkan letaknya, atau diganti dengan kata lain dengan makna yang sama, pasti akan menimbulkan kekacauan bunyi.
Berikut ini, akan diberikan beberapa sampiran dan isi yang merupakan bagian dari beberapa bait teks pantun empat larik. Akan tetapi, semua sampiran dan isi itu belum membentuk satu kesatuan stanza yang utuh. Stanza adalah sajak delapan seuntai yang setiap baitnya terdiri atas delapan buah kalimat. Stanza disebut juga oktaf. Persajakan stanza atau oktaf tidak berurutan.
No. | Sampiran | Isi |
1. | Kalau kayu hendak berbuah | Indah tampan karena budi |
2. | Telah masak buah mengkudu | Siang malam selalu terbayang |
3. | Hari gelap naik ke rumah | Pantun jangan dibuang-buang |
4. | Riga-riga di Pulau Angsa | Bila hilang tukang pantun |
5. | Tingkap papan kayu persegi | Budi tuan saya tak lupa |
6. | Terbit bunga pucuk pun mati | Kalau Melayu hendak bertuah |
7. | Bila siang orang berkebun | Hati risau bercampur rindu |
8. | Daunnya jangan dicincang-cincang | Habislah lesap petuah amanah |
9. | Masak pula buah kepayang | Tinggi bangsa karena bahasa |
10. | Tanam mumbang tumbuh kelapa | Sudah terpaku di dalam hati |
Setelah disusun sampiran dan isi pada tabel di atas maka akan dihasilkan pantun sebagai berikut.
No. | Sampiran | No. | Isi |
1. | Bila siang orang berkebun Hari gelap naik ke rumah Bila hilang tukang pantun Habislah lesap petuah amanah | 2. | Kalau kayu hendak berbuah Daunnya jangan dicencang-cencang Kalau Melayu hendak bertuah Pantun jangan dibuang-buang |
3. | Telah masak buah mengkudu masak pula buah kepayang hati risau bercampur rindu siang malam mabuk kepayang | 4. | Tingkap papan kayu persegi Riga-riga di pulau Angsa Indah tampan karena budi inggi bangsa karena bahasa |
5. | Tanam mumbang tumbuh kelapa terbit bunga pucuk pun mati tinggi bangsa karena bahasa indah tampan karena budi |
Keindahan pantun bukan hanya terletak pada pilihan kata serta kalimat – kalimatnya yang indah, tetapi lebih dari itu adalah pada makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Sungguh disayangkan, perubahan zaman telah membuat keberadaan syair dan pantun menjadi surut. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, terutama dikalangan pemuda. Namun, masyarakat semakin lama menjadi semakin individualistis dan disibukkan dengan berbagai upaya memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Pantun – pantun semakin lama semakin jarang diperdengarkan, sehingga tidak banyak lagi orang yang mahir menyusun dan melantunkannya.