Selasa, 21 Mei 2019

Menata Struktur Teks Pantun

Toming Sek
Struktur pantun adalah bentuk atau pola yang membentuk susunan pantun, struktur pantun dibangun oleh dua aspek, yakni sampiran dan isi. Sampiran berfungsi sebagai pembentuk rima atau nada. Sampiran disebut juga sebagai pembayang karena pada pantun-pantun klasik sampiran kadang-kadang membayangkan isi. Sedangkan isi adalah tujuan dari pantun itu sendiri. Sampiran terhadap isi tidak memiliki hubungan makna. Karena jika memiliki hubungan makna tidaklah disebut sebagai pantun, melainkan hanya Syair bersajak.

Pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran merupakan dua baris pertama (baris 1 dan 2 pada pantun empat baris) pada pantun, kerap kali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya agraris masyarakat pendukungnya), dan biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak. Dua baris terakhir pantun (baris 3 dan 4 pada pantun empat baris) merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.

Karmina dan talibun merupakan bentuk pengembanga pantun, dalam arti karmina dan talibun memiliki bagian sampiran dan isi. Karmina merupakan pantun dalam bentuk pendek karena hanya terdiri dari dua baris, sedangkan talibun adalah pantun dalam bentuk yang lebih panjang karena terdiri dari enam baris atau lebih.

Perhatikan contoh pantun di bawah ini :
Pokok pakis tumbuh di hutan,(sampiran)
tumbang melepa di atas duri.(sampiran)
Pulau menangis kering lautan,(isi)
ikan juga menghempas diri.(isi)
Pada pantun di atas dapat diketahui beberapa hal sebagai berikut :
  • Baris pertama dan kedua berupa sampiran
  • Baris ketiga empat berupa isi
  • Bunyi akhir pada baris pertama sama dengan bunyi akhir pada baris ketiga (n), bunyi akhir pada baris kedua sama dengan baris ketiga (i)

Dari rangkaian teks pantun di atas, dapat dilihat kemahiran pelantunnya dalam pemilihan kata yang digunakan. Pemilihan dan penyusunan kata yang dilakukan sedemikan rupa dengan memberikan rima dan ritme yang sepadan akan menghasilkan keindahan bunyi yang sempurna. Bila setiap kata dalam pantun saling dipertukarkan letaknya, atau diganti dengan kata lain dengan makna yang sama, pasti akan menimbulkan kekacauan bunyi.

Berikut ini, akan diberikan beberapa sampiran dan isi yang merupakan bagian dari beberapa bait teks pantun empat larik. Akan tetapi, semua sampiran dan isi itu belum membentuk satu kesatuan stanza yang utuh. Stanza adalah sajak delapan seuntai yang setiap baitnya terdiri atas delapan buah kalimat. Stanza disebut juga oktaf. Persajakan stanza atau oktaf tidak berurutan.
No.SampiranIsi
1.Kalau kayu hendak berbuahIndah tampan karena budi
2.Telah masak buah mengkuduSiang malam selalu terbayang
3.Hari gelap naik ke rumahPantun jangan dibuang-buang
4.Riga-riga di Pulau AngsaBila hilang tukang pantun
5.Tingkap papan kayu persegiBudi tuan saya tak lupa
6.Terbit bunga pucuk pun matiKalau Melayu hendak bertuah
7.Bila siang orang berkebunHati risau bercampur rindu
8.Daunnya jangan dicincang-cincangHabislah lesap petuah amanah
9.Masak pula buah kepayangTinggi bangsa karena bahasa
10.Tanam mumbang tumbuh kelapaSudah terpaku di dalam hati

Setelah disusun sampiran dan isi pada tabel di atas maka akan dihasilkan pantun sebagai berikut.
No.SampiranNo.Isi
1.Bila siang orang berkebun
Hari gelap naik ke rumah
Bila hilang tukang pantun
Habislah lesap petuah amanah
2.Kalau kayu hendak berbuah
Daunnya jangan dicencang-cencang
Kalau Melayu hendak bertuah
Pantun jangan dibuang-buang
3.Telah masak buah mengkudu
masak pula buah kepayang
hati risau bercampur rindu
siang malam mabuk kepayang
4.Tingkap papan kayu persegi
Riga-riga di pulau Angsa
Indah tampan karena budi
inggi bangsa karena bahasa
5.Tanam mumbang tumbuh kelapa
terbit bunga pucuk pun mati
tinggi bangsa karena bahasa
indah tampan karena budi

Keindahan pantun bukan hanya terletak pada pilihan kata serta kalimat – kalimatnya yang indah, tetapi lebih dari itu adalah pada makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Sungguh disayangkan, perubahan zaman telah membuat keberadaan syair dan pantun menjadi surut. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, terutama dikalangan pemuda. Namun, masyarakat semakin lama menjadi semakin individualistis dan disibukkan dengan berbagai upaya memenuhi kebutuhan hidup yang semakin kompleks. Pantun – pantun semakin lama semakin jarang diperdengarkan, sehingga tidak banyak lagi orang yang mahir menyusun dan melantunkannya.